
Jakarta.Indopopuler,-Di Gondomar, Portugal, keheningan berubah menjadi pelukan kolektif. Dunia sepak bola kehilangan dua sosok penuh potensi—Diogo Jota, bintang Liverpool, dan saudaranya, André Silva—yang berpulang dalam kecelakaan tragis di Spanyol. Namun, di balik duka, kita menyaksikan nilai-nilai fundamental yang kerap menjadi fondasi kepemimpinan: solidaritas, empati, dan kehadiran nyata di tengah krisis.
Rangkaian upacara perpisahan berlangsung tertutup, namun memiliki gema emosional yang luas. Nama-nama besar seperti Virgil van Dijk, Andrew Robertson, hingga Alexis Mac Allister hadir. Bahkan dua mantan pemimpin di ruang ganti Liverpool, Jordan Henderson dan James Milner, meluangkan waktu untuk turut berbagi duka.
Bos anyar Liverpool, Arne Slot, juga turut menyatu dalam barisan, bukan sebagai pelatih, tapi sebagai sesama manusia. Tidak ada jersey. Tidak ada strategi. Yang ada hanyalah komitmen pada nilai-nilai kemanusiaan.
“Kami tidak ingin ada di sini… tapi kami datang atas dasar keyakinan,” ujar Uskup Porto, Manuel Linda—sebuah kalimat sederhana, namun mencerminkan keputusan-keputusan sulit yang sering dihadapi para pemimpin: hadir, bahkan ketika tidak ada kata yang bisa menghibur.
Di tengah perpisahan, ada refleksi. Untuk setiap eksekutif yang terbiasa dengan angka dan hasil, momen ini adalah pengingat: leadership is presence. Bukan hanya saat menang, tapi saat kehilangan. Bukan hanya di ruang rapat, tapi juga ketika krisis mengetuk pintu rekan seperjalanan.
Anak-anak Diogo Jota, yang tidak hadir secara fisik, disebut secara khusus oleh Uskup Linda. Doa dan dukungan diberikan bukan hanya untuk mereka, tetapi juga untuk ibu dan kakek-nenek mereka—sebuah pelajaran penting bahwa warisan kepemimpinan tidak hanya dibentuk oleh prestasi, tapi juga oleh cara kita hadir untuk keluarga dan komunitas.
Saat peti jenazah dibawa dalam prosesi, dan para pemain meninggalkan gereja, yang tersisa bukan hanya duka, tapi juga jejak dari apa yang disebut “kepemimpinan dengan hati.”